Kajian Ke 9 Lanjutan
Selasa 8 sya'ban 1438H/24 April 2018 InsyaAllah 22 hari menuju Ramadhan Mubarak.
◇◇Kiat Kedua adalah bertawakal kepada Allah.
Ibnu Taimiyah menjelaskan,manusia dalam menjalankan ibadahnya sangatlah membutuhkan pertolongan dan taufik dari Allah Ta'ala.
Cara meraih itu semua adalah dengan bertawakal kepada-Nya.
Oleh karena itu, salah satu teladan dari ulama salaf -sebagaimana yang dikisahkan Mu’alla bin al-Fadhl- bahwa mereka berdoa kepada Allah dan memohon pada-Nya sejak enam bulan sebelum Ramadhan tiba agar dapat menjumpai bulan mulia ini dan memudahkan mereka untuk beribadah di dalamnya. Sikap ini merupakan salah satu perwujudan tawakal kepada Allah.
Ibnu Taimiyah menambahkan, bahwa seseorang yang ingin melakukan suatu amalan, dia berkepentingan dengan beberapa hal yang bersangkutan dengan sebelum beramal, ketika beramal dan setelah beramal:
▪Adapun perkara yang dibutuhkan sebelum beramal adalah menunjukkan sikap tawakal kepada Allah dan semata-mata berharap kepada-Nya agar menolong dan meluruskan amalannya. Ibnul Qayyim memaparkan bahwa para ulama telah bersepakat bahwa salah satu indikasi taufik Allah kepada hamba-Nya adalah pertolongan-Nya kepada hamba-Nya. Sebaliknya, salah satu ciri kenistaan seorang hamba adalah
kebergantungannya kepada kemampuan diri sendiri.
Menghadirkan rasa tawakal kepada Allah adalah merupakan suatu hal yang paling penting untuk menyongsong musim-musim ibadah semacam ini; untuk menumbuhkan rasa lemah, tidak berdaya dan tidak akan mampu menunaikan ibadah dengan sempurna, melainkan semata dengan taufik dari Allah. Selanjutnya kita juga harus berdoa kepada Allah agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan dan supaya Allah membantu kita dalam beramal di dalamnya. Ini semua merupakan amalan yang paling agung yang dapat mendatangkan taufik Allah dalam menjalani bulan Ramadhan.
Kita amat perlu untuk senantiasa memohon pertolongan Allah ketika akan beramal karena kita adalah manusia yang disifati oleh Allah ta’ala sebagai makhluk yang lemah:
Dan manusia dijadikan ( ﻭﺧﻠﻖ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ )
bersifat lemah ( ﺿﻌﻴﻔﺎ )
(QS. An-Nisa: 28)
Jika kita bertawakal kepada Allah dan memohon kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi taufik-Nya pada kita.
▪▪Di saat mengerjakan amalan ibadah, poin yang perlu diperhatikan seorang hamba adalah:
Ikhlas dan mengikuti petunjuk Rasulullah ﷺ.
Dua hal inilah yang merupakan dua syarat diterimanya suatu amalan di sisi Allah. Banyak ayat dan hadits yang menegaskan hal ini. Di antaranya firman Allah ta’ala,
Padahal mereka tidaklah diperintahkan ( ﻭﻣﺎ ﺃﻣﺮﻭﺍ )
mlainkan supaya beribadah kpd Allah ( ﺇﻻ ﻟﻴﻌﺒﺪﻭﺍ ﺍﻟﻠﻪ )
dg mengikhlaskan ketaatan
kepada-Nya. ( ﻣﺨﻠﺼﻴﻦ ﻟﻪ ﺍﻟﺪﻳﻦ )
(QS. Al-Bayyinah: 5)
Dan Nabi ﷺ bersabda:
Dari Ummul mukminin ( عن أم المؤمنين )
Ummu 'Abdillah ( أم عبدالله )
‘Aisyah radhiallahu 'anha ( عائشة رضي الله عنها )
ia berkata ( قال )
bahwa Rasulullah bersabda ( قال رسول اللهﷺ)
Barangsiapa ( من )
yg mengada-adakan sesuatu ( أحدث )
dlm urusan agama kami ini ( في أمرنا هذا )
yg bukan dari kami ( ما ليس منه )
maka dia tertolak ( فهو رد )
Bukhari dan Muslim ( رواه البخاري ومسلم )
Dalam riwayat Muslim ( وفي رواية لمسلم )
Barangsiapa ( من )
melakukan suatu amal ( عمل عملا )
yg tidak sesuai urusan kami ( ليس عليه أمرنا )
maka dia tertolak ( فهو رد )
( HR Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718 )
▪▪▪Usai beramal, seorang hamba membutuhkan untuk memperbanyak istigfar atas kurang sempurnanya ia dalam beramal, dan juga butuh untuk memperbanyak hamdalah (pujian) kepada Allah Yang telah memberinya taufik sehingga bisa beramal. Apabila seorang hamba bisa mengombinasikan antara hamdalah dan istigfar, maka dengan izin Allah ta’ala, amalan tersebut akan diterima oleh-Nya.
Hal ini perlu diperhatikan betul-betul, karena setan senantiasa mengintai manusia sampai detik akhir setelah selesai amal sekalipun! Makhluk ini mulai menghias-hiasi amalannya sambil membisikkan,
Hai fulan,
Kau telah berbuat begini dan begitu…
Kau telah berpuasa Ramadhan…
Kau telah shalat malam di bulan suci…
Kau telah menunaikan amalan ini dan itu dg sempurna…
Dan terus menghias-hiasinya terhadap seluruh amalan yang telah dilakukan sehingga tumbuhlah rasa ‘ujub (sombong dan takjub kepada diri sendiri) yang menghantarkannya ke dalam lembah kehinaan.
Juga akan berakibat terkikisnya rasa rendah diri dan rasa tunduk kepada Allah ta’ala.
Seharusnya kita tidak terjebak dalam perangkap ‘ujub pasalnya, orang yang merasa silau dengan dirinya sendiri (bisa begini dan begitu) serta silau dengan amalannya berarti dia telah menunjukkan kenistaan, kehinaan dan kekurangan diri serta amalannya.
Hati-hati dengan tipu daya setan yang telah bersumpah:
Karena Engkau telah menghukum
saya tersesat ( فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي )
saya benar2 akan (menghalang-
halangi) mereka dari jalan Engkau
yang lurus.( لأقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ )
kemudian saya akan mendatangi mereka
dari muka ( ثُمَّ لآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ )
dan dari belakang mereka ( وَمِنْ خَلْفِهِمْ )
dr kanan dan dari kiri mereka ( وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ)
Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). ( وَلا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ )
(Qs Al-A'raf: 16-17)
◇◇◇Kiat Ketiga bertaubat Sebelum Ramadhan Tiba
Banyak sekali dalil yang memerintahkan seorang hamba untuk bertaubat, di antaranya: firman Allah ta’ala:
Hai org2 yg beriman ( ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ )
bertaubatlah kpd Allah dg taubat yg semurni-murninya ( ﺗُﻮﺑُﻮﺍ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺗَﻮْﺑَﺔً ﻧَﺼُﻮﺣﺎً )
mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapuskan kesalahan-kesalahanmu ( ﻋَﺴَﻰ ﺭَﺑُّﻜُﻢْ ﺃَﻥْ ﻳُﻜَﻔِّﺮَ ﻋَﻨْﻜُﻢْ ﺳَﻴِّﺌَﺎﺗِﻜُﻢْ )
dan memasukkan kamu ke dalam surga yg mengalir di bawahnya sungai2.( ﻭَﻳُﺪْﺧِﻠَﻜُﻢْ ﺟَﻨَّﺎﺕٍ ﺗَﺠْﺮِﻱ ﻣِﻦْ ﺗَﺤْﺘِﻬَﺎ ﺍﻟْﺄَﻧْﻬَﺎﺭُ )
(QS. At Tahrim: 8)
Kita diperintahkan untuk senantiasa bertaubat, karena tidak ada seorang pun di antara kita yang terbebas dari dosa-dosa. Rasulullah ﷺ mengingatkan,
Setiap keturunan Adam ( ﻛﻞ ﺑﻨﻰ ﺁﺩﻡ )
itu banyak melakukan dosa ( ﺧﻄﺎﺀ )
dan sebaik2 org yg berdosa ( ﻭﺧﻴﺮ ﺍﻟﺨﻄﺎﺋﻴﻦ )
adalah yg bertaubat ( ﺍﻟﺘﻮﺍﺑﻮﻥ)
(HR. Tirmidzi dan dihasankan isnadnya oleh Syaikh Salim Al Hilal)
Dosa hanya akan mengasingkan seorang hamba dari taufik Allah, sehingga dia tidak kuasa untuk beramal saleh, ini semua hanya merupakan sebagian kecil dari segudang dampak buruk dosa dan maksiat (lihat Dampak-Dampak dari Maksiat dalam kitab Ad-Daa’ Wa Ad-Dawaa’ karya Ibnul Qayyim, dan Adz-Dzunub Wa Qubhu Aatsaariha ‘Ala Al-Afrad Wa Asy-Syu’ub karya Muhammad bin Ahmad Sayyid Ahmad hal: 42-48).
Apabila ternyata hamba mau bertaubat kepada Allah ta’ala, maka prahara itu akan sirna dan Allah akan menganugerahi taufik kepadanya kembali.
Taubat nasuha atau taubat yang sebenar-benarnya hakikatnya adalah: bertaubat kepada Allah dari seluruh jenis dosa.
Imam Nawawi menjabarkan: Taubat yang sempurna adalah taubat yang memenuhi empat syarat:
1. Meninggalkan maksiat.
2. Menyesali kemaksiatan yang telah ia perbuat.
3. Bertekad bulat untuk tidak mengulangi maksiat itu selama-lamanya.
4. Seandainya maksiat itu berkaitan dengan hak orang lain, maka dia harus mengembalikan hak itu kepadanya, atau memohon maaf darinya (Lihat:
Riyaadhush Shaalihiin , karya Imam an-Nawawi hal: 37-38)
Ada suatu kesalahan yang harus diwaspadai: sebagian orang terkadang betul-betul ingin bertaubat dan bertekad bulat untuk tidak berbuat maksiat, namun hanya di bulan Ramadhan saja, setelah bulan suci ini berlalu dia kembali berbuat maksiat. Sebagaimana taubatnya para artis yang ramai-ramai berjilbab di bulan Ramadhan, namun setelah itu kembali ‘pamer aurat’ sehabis idul fitri.
Ini merupakan suatu bentuk kejahilan. Seharusnya, tekad bulat untuk tidak mengulangi perbuatan dosa dan berlepas diri dari maksiat, harus tetap menyala baik di dalam Ramadhan maupun di bulan-bulan sesudahnya.
◇◇◇◇Kiat Keempat Membentengi Puasa Kita dari Faktor-Faktor yang Mengurangi Keutuhan Pahalanya
Sisi lain yang harus mendapatkan porsi perhatian spesial, bagaimana kita berusaha membentengi puasa kita dari faktor-faktor yang mengurangi keutuhan pahalanya. Seperti menggunjing dan berdusta. Dua penyakit ini berkategori bahaya tinggi, dan sedikit sekali orang yang selamat dari ancamannya.
Rasulullah ﷺ mengingatkan
ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺪﻉ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﺰﻭﺭ ﻭﺍﻟﻌﻤﻞ ﺑﻪ ﻓﻠﻴﺲ ﻟﻠﻪ ﺣﺎﺟﺔ ﻓﻲ ﺃﻥ ﻳﺪﻉ ﻃﻌﺎﻣﻪ ﻭﺷﺮﺍﺑﻪ
Barang siapa yang tidak meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatannya, maka niscaya Allah tidak akan membutuhkan penahanan dirinya dari makanan dan minuman (tidak membutuhkan puasanya).(HR. Bukhari)
Jabir bin Abdullah menyampaikan petuahnya:
ﺇﺫﺍ ﺻﻤﺖ ﻓﻠﻴﺼﻢ ﺳﻤﻌﻚ ﻭﺑﺼﺮﻙ ﻭﻟﺴﺎﻧﻚ ﻋﻦ ﺍﻟﻜﺬﺏ ﻭﺍﻟﻤﺤﺎﺭﻡ ﻭﺩﻉ ﺃﺫﻯ ﺍﻟﺠﺎﺭ ,ﻭﻟﻴﻜﻦ ﻋﻠﻴﻚ ﻭﻗﺎﺭ ﻭﺳﻜﻴﻨﺔ ﻳﻮﻡ ﺻﻮﻣﻚ , ﻭﻻ ﺗﺠﻌﻞ ﻳﻮﻡ ﺻﻮﻣﻚ ﻭﻳﻮﻡ ﻓﻄﺮﻙ ﺳﻮﺍﺀ
Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram dan janganlah kamu menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama. (Lathaa’if al-Ma’arif , karya Ibnu Rajab al-Hambali, hal: 292)
Orang yang menahan lisannya dari ghibah dan matanya dari memandang hal-hal yang haram ketika berpuasa Ramadhan tanpa mengiringinya dengan amalan-amalan sunnah, lebih baik daripada orang yg berpuasa plus menghidupkan amalan-amalan sunnah, namun dia tidak berhenti dari dua budaya buruk tadi! Inilah realita mayoritas masyarakat; ketaatan yang bercampur dengan kemaksiatan.
Umar bin Abdul ‘Aziz pernah ditanya tentang arti takwa, Takwa adalah menjalankan kewajiban dan meninggalkan perbuatan haram, jawab beliau. Para ulama menegaskan, Inilah ketakwaan yang sejati. Adapun mencampur adukkan antara ketaatan dan kemaksiatan, maka ini tidak masuk dalam bingkai takwa, meski dibarengi dengan amalan-amalan sunnah.
Oleh sebab itu para ulama merasa heran terhadap sosok yang menahan diri (berpuasa) dari hal-hal yang mubah, tapi masih tetap gemar terhadap dosa.
Ibnu Rajab al-Hambali bertutur, Kewajiban orang yang berpuasa adalah menahan diri dari hal-hal mubah dan hal-hal yang terlarang. Mengekang diri dari makanan, minuman dan jima’ (hubungan suami istri), ini sebenarnya hanya sekedar menahan diri dari hal-hal mubah yg diperbolehkan.
Sementara itu ada hal-hal terlarang yang tidak boleh kita langgar baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya. Di bulan suci ini tentunya larangan tersebut menjadi lebih tegas. Maka sungguh sangat mengherankan kondisi orang yang berpuasa (menahan diri) dari hal-hal yang pada dasarnya diperbolehkan seperti makan dan minum, kemudian dia tidak berpuasa (menahan diri) dan tidak berpaling dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan di sepanjang zaman seperti ghibah, mengadu domba, mencaci, mencela, mengumpat dan lain-lain. Semua ini merontokkan ganjaran puasa.
bersambung insya Allah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar